Rabu, 26 Maret 2008

Keprihatinan pendidikan (Refleksi Kasus IPDN)


IPDN: Kampus Diktator?
Oleh: Fritz Fios *

Kasus matinya mahasiswa Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Sumedang, Cliff Muntu, semakin menambah deretan panjang daftar mahasiswa di kampus itu yang tewas lantaran dianiaya rekan mahasiswa sendiri. Anehnya, kekerasan dalam kampus itu tak pernah usai. Kita akhirnya mahfum, kekerasan dalam kampus IPDN seolah-olah suatu aporia, soal tanpa penyelesaian. Roh jahat kekerasan rupanya tak mau hengkang dari kampus yang nota bene berandil besar mencetak calon birokrat pemerintahan negeri ini itu. Roh kekerasan masih saja tidur pulas di lingkungan pendidikan tinggi itu. Aneh bin aneh bukan?
Ketika mitos yakinan para penganut pola kekerasan terhadap mahasiswa di lingkungan pendidikan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) merupakan hal wajar-wajar saja, inilah saatnya wajah institusi pendikan itu jadinya corat-marut. Ketika orang mengira pendidikan dengan cara keras ala IPDN dinilai baik dan dapat menciptakan generasi masa depan handal, mitos yakinan itu cuma lelucon yang anakronistik dan layak ditertawakan. Ternyata kekerasan terhadap mahasiswa (anak) di kampus atau sekolah bukanlah metode pendidikan positif-kontruktif, melainkan justru negatif-destruktif belaka. Terapan mekanisme didikan keras cuma akan menuai generasi masa depan yang asosial.
Para mahasiswa yang dipukul dan ditendang di bagian perut oleh para senior selama mengenyam ilmu di bangku pendidikan itu, menggumpalkan dalam diri mereka mata rantai shock psikologis dan kemarahan terpendam tak terputuskan. Ada semacam kekerasan yang terinstitusionalisasi dan intitusionalisasi kekerasan yang begitu kuatnya. Fenomena psikis ini semakin intens ketika cuatan keluar perasaan tak puas menjadi tak mungkin karena anak didik dibayang-bayangi doktrin “harus taat pada senior walau seniornya main tangan besi”. Iklim pendidikan kondusif yang memungkinkan manusia tumbuh normal sebagai pribadi sehat jadinya terhambat.
Pendidikan dengan cara kekerasan cuma menciptakan generasi masa depan yang sakit dan mandul. Kesakitan dan kemandulan anak didik muncul karena mereka dididik dalam iklim pendidikan yang tidak menciptakan peluang bagi mereka untuk berkreasi dan bebas mengekspresikan diri. Konsekuensi logisnya, anak jadinya takut, taat buta tanpa sikap kritis, pura-pura, bermental kecil, dan munafik. Kreativitas dan inisiatif anak jadinya terpasung. Pada gilirannya, situasi ini menghambat perkembangan intelegensi anak secara optimal. Padahal aspek kreativitas urgen dan signifikan di lingkungan pendidikan.
Tahun 1962, Getzel dan Jackson (psikolog pendidikan) pernah menyelidiki korelasi antara kreativitas dan kemampuan intelektual anak. Hasilnya membuktikan bahwa kadar kreativitas tinggi dapat berpengaruh positif pada tingkat kepandaian anak. Tiga tahun sesudahnya (1965), dengan pertanyaan dasar “Apakah kreativitas mempengaruhi perkembangan kepandaian manusia”?, Walack dan Kogan kembali meneguhkan penelitian Getzel dan Jackson. Kedua orang ini pun menyimpulkan bahwa tingkat kepandaian seseorang (di sekolah) tidak cuma ditentukan oleh besarnya kadar intelek (IQ) anak, tetapi juga dipengaruhi oleh kadar kreativitasnya. Semakin tinggi kadar kreativitas anak, semakin tinggi peluang anak berhasil dalam belajar.
Menyelisik fenomena kekerasan di kampus IPDN, kita boleh mengklaim, iklim pendidikan kreatif masih jauh dari panggang api. Yang ada cuma iklim pendidikan diktator alias pola kekerasan militer yang memasung kreativitas. Menjadi apakah nantinya generasi masa depan yang dididik dengan cara diktator seperti ini?
Iklim kreatif harus dilembagakan dalam lingkungan sekolah dan kampus IPDN. Kondisi-kondisi yang memungkinkan kreativitas mahasiswa harus diciptakan dan ditingkatkan terus. Relasi-relasi kreatif harus terus dikembangkan di kampus. Dan relasi kreatif itu pertama-tama harus diciptakan oleh semua entitas dalam kampus IPDN. Semuanya ini difokuskan dalam kerangka dasar penciptaan lingkungan sekolah yang ramah anak.
Kampus IPDN jelas harus siap membenahi diri jika tak mau mati sebelum waktunya alias ditutup. Ideologi sekolah ramah anak merupakan hal yang niscaya di lingkup IPDN. Kondisi ini mesti ditandai dengan adanya hubungan sehat antara senior dengan yunior, dosen dengan mahasiswa. Setiap mahasiswa perlu memandang rekan mahasiswanya sebagai pribadi yang otonom-mandiri sehingga tumbuh rasa penghargaan satu sama lain. Anak yang dihargai akan memiliki kepercayaan diri dan bebas berekspresi tanpa tekanan psikologis dan rasa takut. Kondisi ini memungkinkan anak belajar secara efektif untuk meningkatkan kualitas intelektualnya yang memadai. Jika IPDN hendak mencipta generasi masa depan yang sehat dan pandai, pertama-tama IPDN harus memodifikasi iklim belajar yang kondusif di lingkungan sekolah itu. Cara-cara kekerasan harus dibuang jauh-jauh dari lingkungan IPDN. Inilah saatnya kita menciptakan IPDN sebagai kampus yang ramah anak. Jika tidak, IPDN tetaplah akan mendapat stigma negatif sebagai kampus diktator alias sekolah yang tidak ramah anak.
* Dosen Universitas Bina Nusantara Jakarta

Tidak ada komentar: