Kamis, 27 Maret 2008

Tentang Banjir Tahunan Jakarta

Menggugat Tanggung Jawab Ekologis Kita
Oleh: Fritz Fios


Banjir yang merendam Jakarta belakangan benar-benar bikin warga takut dan panik. Tidak sedikit orang mengungsi mencari tempat huni lebih aman. Ada korban nyawa malah. Kerugian materi jangan dibilang lagi. Triliunan rupiah raib akibat banjir ini. Benar-benar bencana raksasa bagi negeri ini. Muncul aneka wacana dari pelbagai disiplin ilmu membedah masalah banjir ini. Intinya ada dua: pertama, konstruksi teknis dan kedua, kotbah humanis-ekologis. Tulisan ini masuk kategori wacana kedua.
Fenomena banjir lumrah dalam kehidupan, laiknya tsunami dan tanah longsor. Meski demikian, ia mesti tetap disikapi secara bijak. Caranya tiada lain selain melakukan perenungan kritis atasnya. Perenungan penting untuk mendeteksi adakah kesalahan (sebab) manusiawi yang memicu munculnya (akibat) banjir? Sesudahnya, mari kita sama-sama mengubah diri, melakukan metanoia (pertobatan) dalam relasi dengan alam. Fokus perenungan soal gugatan atas tanggung jawab ekologis kita.
Istilah ekologi diorbitkan pertama kali oleh Haeckel pada tahun 1866. Kata ini merupakan kata serapan dari bahasa Inggris ecology yang diturunkan lagi dari bahasa Yunani oikos (tempat tinggal) dan logos (ilmu). Jadi, ekologi merupakan cabang ilmu biologi yang mempelajari relasi timbal balik organisme-organisme dan hubungan organisme-organisme itu dengan lingkungan hidupnya. Organisme-organisme itu terdiri dari manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan.
Bicara soal fakta, jujur saja, paradigma perilaku kita belum mencerminkan tanggung jawab ekologis maksimal. Kita membuang sampah seturut suka. Atau membersihkan lingkungan rumah sendiri, kita menunggu petugas kebersihan alias “pasukan kuning”. Inisiatif kita masih lemah. Kita menebang pohon tanpa reboisasi. Kita doyan menghisap enaknya alam sambil lupa memikirkan kebaikan alam.
Cara kita memperlakukan alam dapat dikerangkakan dalam konsep filosofis filsuf Perancis, Rene Descartes (1596-1650) yang merumuskan manusia modern sebagai “Sang Penguasa dan Penguasa Alam Semesta”. Konsep ini menjadikan manusia sewenang-wenang terhadap alam. Istilah-istilah yang dihidupi manusia adalah menguras alam (eksploitasi) untuk memenuhi kerakusan kita. Alam tidak dihargai sebagai sesama ciptaan Tuhan yang juga bermartabat, tetapi dilihat sebagai objek yang dimanfaatkan demi kebutuhan manusia.
Terhindar dari semua bencana alam (banjir), kita perlu memodifikasi pola relasi yang lebih seimbang dan harmonis dengan alam. Paradigma relasi itu adalah sebuah tanggung jawab ekologis. Ini pilihan yang niscaya kita jika memang tak ingin terus direndam banjir bandang setiap tahunnya.
Paradigma etika ekologis itu tampil dalam tiga tanggung jawab. Pertama, hormat terhadap alam lingkungan. Alam merupakan ciptaan yang sama diciptakan Tuhan seperti halnya manusia. Alam memiliki kualitas kebaikan in se (pada dirinya sendiri). Kualitas itu tampak dalam keindahan dan sifat keibuan alam yang setia menyediakan kebutuhan untuk makhluk hidup. Jika demikian, alam layak dihormati, dihargai, dan dicintai. Manusia mesti mengusahakan alam demi kebaikan alam dan bukan mengikhtiarkan kebinasaannya. Tanggung jawab ekologis mewajibkan manusia menghormati alam. Suatu sikap “sungkan” dan “segan” terhadap alam perlu mengkristal dalam diri manusia.
Kedua, menjaga keseimbangan alam. Keseimbangan artinya adil, tidak berat sebelah. Manusia perlu memandang alam sebagai partner yang memiliki posisi sejajar dengan manusia. Manusia tidak boleh eksploitatif dan arogan terhadap alam. Istilah eksploitasi mesti diganti dengan istilah lebih elegan seperti eksplorasi, integrasi, dan rehabilitasi. Karena istilah-istilah ini menunjukkan kepemihakan pasti manusia terhadap kebaikan dan masa depan alam. Manusia perlu mengolah alam tanpa lupa mengabaikan kebaikan alam. Menebang pohon untuk membangun mall raksasa atau perumahan elit misalnya, boleh, namun sesudahnya perlu menanam kembali pohon pengganti agar hutan lestari.
Ketiga, mengembangakan sikap cinta lingkungan hidup. Alam semesta mengkristalkan kekayaan alam yang tak ternilai bagi makhluk hidup. Ketika Tuhan menciptaan alam, Tuhan memperuntukkan semuanya bagi manusia. Dari alamlah manusia hidup dan mempertahankan eksistensinya. Konsekuensinya, alam perlu disayang dan dicintai. Alam perlu dicintai karena ia berharga bagi masa depan manusia. Tanpa alam, manusia punah dan binasa. Maka tanggung jawab ekologis menuntut manusia mencintai lingkungan hidup hic et nunc (kini dan di sini). Artinya, manusia mesti memberi diri, memikirkan nasib masa depan alam dan berbuat konkrit demi kebaikan alam.
Di atas segalanya, kita pun perlu mendekonstruksi doktrin filsafat Descartes tadi tentang konsep manusia sebagai penguasa atas alam. Manusia bukan penguasa mutlak alam. Alam tidak pernah dimiliki seutuhnya oleh manusia. Pemilik alam adalah alam itu sendiri dan Sang Khalik. Manusia tidak berhak sedikitpun atas alam, tidak berkuasa mutlak apalagi memiliki alam secara sempurna. Tanggung ekologis mendesak manusia mencipta surga pertama di dunia sebelum malaikat maut datang memisahkan roh dari raga kita dan menerbangkannya menuju surga abadi di alam nun sana.* * *


































Tidak ada komentar: