Kamis, 27 Maret 2008

Soal aksi Para Guru

Menakar Akar Demonstrasi Para Guru
Fritz Fios *

Belakangan aksi demonstrasi ribuan guru yang berafiliasi dalam Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) semakin marak. Kelompok masyarakat yang siklus habitusnya sebatas ruang kelas, kini berani turun ke jalan untuk berdemo. Tak peduli apa pun penilaian yang dialamatkan kepada mereka. Yang penting aspirasi mereka sampai ke ranah publik. Sudah gawatkah nasib pendidikan negeri ini sampai-sampai para guru dalam bungkusan seragam Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) turun berjemur panas di jalanani?
Bung Hatta dulu pernah mengatakan kalau sampai para guru sudah turun ke jalan untuk berdemo, itu sinyal bahwa kondisi dalam suatu masyarakat sudah sedemikian parah dan gawatnya. Merujuk kata-kata bijak bapak pendiri bangsa ini, kita setuju kondisi dunia pendidikan bangsa ini tidak kondusif dan berada di pinggir kegalauan (on the brink of chaos).

Stigma Negatif
Aksi jalanan para guru mengusung satu tuntutan dasar agar pemerintah merealisasikan anggaran 20 % untuk pendidikan dari Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara (APBN) yang telah diundangkan. Namun sayang, aksi luhur para guru ini mengorbitkan pandangan beraneka macam. Sebuah media nasional jelas-jelas menuding aksi para guru ini sudah keterlaluan karena tiga alasan. Pertama, membuat anak didik terlantar di sekolah. Kedua, jalanan ibu kota dibikin macet. Dan ketiga, seharusnya perjuangan guru menempuh jalur diplomasi saja.
Boleh-boleh saja kita menilai apa saja terhadap kelompok profesi yang dijuluki pahlawan tanpa tanda jasa ini. Sah-sah saja mereka yang mengajarkan nilai-nilai moral-etis ini disorot tak etis seperti itu. Namun kita perlu bertanya, sitgma seperti ini apa sudah fair dan pada tempatnya?
Dalam sistem negara yang menganut paham demokrasi, demonstrasi merupakan salah satu jalur penyampaian aspirasi. Dari sisi tilik ini, aksi demo para guru merupakan alat komunikasi politik. Karena itu apapun alasannya, kita harus mengatakan sebagai komponen masyarakat republik ini, aksi para guru mengamanahkan bahwa demokrasi di negeri ini belum mati. Demokrasi negeri ini tetap hidup dalam nurani bening para guru yang hendak mengendus kebenaran. Kebenaran dalam konteks perjuangan para guru adalah peningkatan kesejahteraan mereka.

Verifikasi Logis
Aksi para guru bukan dilakukan atas dasar zero argumentasi apalagi irasionalitas. Sebab mereka orang-orang berpendidikan yang sangat rasional. Aksi turun ke jalan apalagi dalam jumlah yang signifikan ini menyiratkan amanah bahwa apa yang mereka suarakan penting dan mendesak serta telah menjadi komitmen bersama. Komitmen bersama ini melahirkan solidaritas bersama untuk berjuang bersama-sama mencapai tujuan.
Signifikansi dan urgensitas aksi para guru tentu dilakukan atas dasar argumentasi rasional. Secara logis, aksi para guru dapat diverifikasikan dalam silogisme berikut ini. Jika semua warga Negara Indonesia berhak menyampaikan aspirasinya dalam bentuk demonstrasi itu dianggap benar, dan bahwa para guru termasuk warga negara Indonesia itu benar, maka kesimpulannya benar bahwa para guru berhak juga menyampaikan aspirasi kepada pemerintah dengan cara demonstrasi. Di titik inilah segala klaim dan stigma negatif terhadap aksi para guru runtuh secara rasional. Sebab kita tidak boleh menyorot peristiwa aksidental seperti jalanan macet dan lain-lain akibat demo para guru itu. Titik penerawangan kita harusnya lebih dalam menyorot hal substansial di balik aksi para guru itu.

Nurani Birokrat Tumpul
Jalur diplomasi dinilai sebagai jalur tidak popular oleh para guru, sebab kontraproduksitf dan mandul. Sudah seringkali mereka menyampaikan aspirasi lewat jalur formal-diplomatis tapi hasilnya nihil. Retorika pemerintah (termasuk para anggota Dewan kita) sebatas mendengar, menampung aspirasi dan selesai di situ. Mereka lupa melaksanakannya. Atau toh kalau sampai melaksanakannnya, pelaksanaannya tidak efisien karena birokrasinya korup dan tumpul nurani. Uang yang seharusnya dipakai untuk anggaran pendidikan menjadi tidak dialokasikan secara baik dalam tataran realisasi. Aliran dana anggaran untuk pendidikan seperti yang tersketsa dalam dokumen peraturan dan perundangan tidak sampai pada sasaran. Uang itu tidak sampai kantung para guru tapi nyasar di kantung para operator manajerial pendidikan yang korup. Ketika realisasi anggaran itu tak sesuai antara idealisme dan fakta, muncul kesadaran kritis para guru untuk memberontaki sistem tak becus ini. Inilah akar sebenarnya yang berada di balik gerakan para guru kita.

Perlu Respon Moral
Pemerintah tentu tak boleh diam terus dengan tuntutan para guru ini, apalagi sampai mengadopsi adagium anjing menggonggong kafila berlalu. Perlu diupayakan langkah-langkah konkrit memenuhi aspirasi para guru ini. Sebab hal yang kontradiktif jika kita menuntut sumber daya manusia (SDM) handal masa depan sementara lalai mengurus nasib para pencipta SDM masa depan itu sendiri. Bukankah ini lelucon yang layak ditertawakan?
Pemerintah perlu melakukan langkah tegas dengan melakukan respon moral. Langkah ini dapat dikonkritkan dengan jalan menerapkan secara konsisten besaran anggaran 20 % seperti yang sudah tertulis dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Respon moral ini perlu dilakukan pemerintah dengan melakukan kontrol ketat terhadap para birokrat/manajemen pendidikan itu. Sebab kalau undang-undang sudah mensahkan suatu aturan, tapi aturan itu belum diterapkan secara ideal, maka hambatan itu perlu dibersihkan agar anggaran itu mengalir deras menuju ke kantung para guru. Jika tidak bangsa ini memang akan terus dicap sebagai bangsa yang sudah mengalami kematian moral berkepanjangan. Dan yang terpenting agar pemerintah tidak terus terkejut jika para guru yang nota bene penegak moral ini turun ke berdemo di jalanan.

* Dosen Universitas Bina Nusantara Jakarta

Tidak ada komentar: